Tittle: Goodbye Summer
Starring: Choi Sulli and Choi Minho
Author: MinLi MinRi
inspired by f(x)'s song with the same tittle "GOODBYE SUMMER"
Terik matahari semakin menyengat saat aku sampai di depan
sebuah gerbang besar. Tempat ini, tempat yang sangat aku rindukan. Tempat penuh
kenangan yang mungkin menyakitkan. Senior High School.
Aku merasakan desiran angin menyapu rambut sebahuku dengan
lembut saat aku mulai menapakkan kakiku pada anak tangga pintu masuk sekolah
ini.
Aku mengamati keadaan sekitar, tidak banyak berubah. Lapangan
bola yang tetap sama dengan pohon besar yang masih kokoh berdiri di tepinya.
Aku berjalan lurus menyusuri lorong kelas. Semuanya tetap
sama. Hingga mataku menatap lurus pada sebuah ruang kelas yang terletak paling
ujung. XII-1, tulisan itu masih tertulis jelas pada papan di depan pintu. Aku
menyentuh daun pintu berplitur cokelat itu, mendongakkan kepalaku untuk melihat
keadaan di dalam. Namun, tiba-tiba semua memori lamaku menyergap melumpuhkan
hatiku. Memori masa sekolahku yang menyedihkan, memoriku tentang cinta
pertamaku yang (mungkin) tak terbalas, memori lamaku tentang pertemanan yang
menyakitkan.
Perlahan aku melangkahkan kakiku ke dalam ruang kelas. Aku
menyentuh beberapa bangku yang aku lewati hingga menuju tempat dudukku masa
itu, baris ketiga baris keempat. Beberapa saat aku memandangi bangkuku, kemudian
aku mendudukinya. Aku memalingkan kepala melihat bangku di sampingku. Ya,
dibangku itu dia dulu duduk, dari bangku itu dulu ia selalu menjahiliku, Choi
Minho. Bangku itu kosong, dan kini aku hanya sendiri menatap kosong pada
hembusan angin.
Aku memejamkan mataku, dan memori itu kembali menyerangku.
I remember when we were yelled at for
talking in the halls
I don’t know why it was so fun even when we were being punished
I don’t know why it was so fun even when we were being punished
“Sttt…Sulli-yah.” Bisik
Minho memenggilku sambil melempariku sebuah kertas yang sudah diremas.
Aku memandangnya sebal,
dia selalu begitu, selalu mengirimkanku pesan-pesan tak penting ketika
pelajaran sedang berjalan.
“Buka…Palli…” Pintanya
masih dengan berbisik.
Dengan malas aku mau tak
mau membuka kertas itu. Aku baca isinya dan sepersekian detik berikutnya aku
sudah memandang Minho dengan mata membulat.
Minho terkekeh melihat
ekspresiku, dan rasanya aku ingin membunuhnya. Aku melemparkan kertas itu lagi
padanya, namun belum sampai Minho membacanya, kertas itu sudah diambil oleh
guru kami, Mr.Kim.
Aku menunduk ketakutan,
begitu juga dengan Minho.
“Tuan dan Nona Choi, jika
kalian merasa tidak perlu mengikuti pelajaranku keluarlah.” Ucap Mr.Kim naik
pitam.
Aku masih belum beranjak
dari dudukku, meremas ujung rok sekolahku dengan tangan bergetar, aku takut.
“Kalian berdua Berdiri di depan kelas!” Suara Mr.Kim semakin
meninggi.
AKu segera berdiri tanpa
melihat Mr.Kim kemudian berjalan dengan cepat keluar. Lalu Minho, tentu saja
Minho mengekor di belakangku.
Kini tinggallah aku dan
Minho yang berdiri dengan satu kaki di angkat berdampingan di depan kelas. Aku
malas sekali pada Minho, ini bukan kali pertama dia membuat kami berdiri di
depan kelas, ini sudah kesekian kalinya. Dia selalu begitu.
“Sulli-yah…jangan tekuk
wajahmu seperti itu, kau jelek.” Kata Minho mengejekku.
Aku melengos sengaja tak
ingin melihatnya.
“Yah! Sulli…kau tak boleh
bersikap seperti itu pada Oppa.” Celetuknya polos.
“Babo!” Ucapku sambil
menoleh pada Minho, tanpa ku sadari seulas senyum tipis tersungging di bibirku.
Minho tersenyum melihatku.
Senyum itu, aku baru menyadari bahwa senyum itu sangat menawan. Tiba-tiba aku
merasa ada perasaan hangat menjalar ke hatiku.
“Babo! Kenapa kau malah
melamun!” Teriaknya tepat di telingaku. Aku terjatuh kaget, dan dia
menertawaiku.
“Mwoya…Babo Choi Minho!”
aku balik meneriakinya sambil berusaha berdiri.
Untuk beberapa saat kami
lupa, kami sedang di hukum dan kami malah saling teriak satu sama lain.
“Sepertinya kalian sangat
menikmati hukuman ini, jadi berdirilah di situ sampai bel istirahat.” Kata
Mr.Kim marah pada kami sambil membanting keras-keras pintu di depan kami.
Aku dan Minho saling
memandang, kemudian tawa kami pecah.
Kali ini aku tak merasa
sebal atau semacamnya, aku bahkan merasa senang, menikmati masa hukuman bersama
Minho.
Aku tersenyum pahit mengingat memori itu lagi. Memori yang
beberapa kali telah menghantui tidur malamku. Dan senyuman menawan Minho yang
sudah membekukan hatiku selama bertahun-tahun. Apakah dia juga mengingatnya?
Aku beranjak dari tempat dudukku dan kini mulai berjalan menuju
jendela kelas. Pandanganku terkunci saat aku memandang hamparan hijau lapangan
sepak bola. Lagi-lagi memori itu menyergapku, aku melihat bayang-bayang diriku
mengenakan seragam sekolah dengan rambut sepinggang yang selalu ku ikat sedang
berjalan mengekor Minho.
After that day we always stuck
together like the Astro twins, you were me and I was you
“Memandanginya dari belakang
sekalipun tak mengurangi karismanya.” Bathinku sambil berjalan mengekor di
belakang Minho.
“Appo.” Rintihku kesakitan saat
tubuhku meabrak tubuh tinggi Minho yang tiba-tiba berhenti tanpa aba-aba.
“Kenapa kau melamun dari tadi?”
Ucap Minho sambil menyentil pelan dahi perponiku.
Aku tak dapat berkata apa-apa,
hanya dapat tersenyum bodoh padanya.
“Best Friend?” katanya tiba-tiba sambil
mengulurkan kelingkingnya dengan mata bulat yang bersinar.
Aku memandanginya tak percaya,
hatiku berkecamuk, apakah hanya sebatas itu dia menganggapku.
“Kau melamun?” tanyanya lagi,
kelingkingnya masih terulur menunggu balasan dariku.
“Ani….Best Friend.” Ucapku sambil
mengaitkan kelingkingku pada kelingkingnya, tak lupa aku tersenyum meski terasa
sangat ku paksakan.
Aku
hanya mampu tersenyum getir mengingat memori cinta pertamaku. Cinta pertama
yang sampai saat ini masih ku pertahankan. Cinta pertama yang hanya ku rasakan
sepihak saja. Sedekat apapun aku dan Minho, kami hanya teman, teman baik dan
tak lebih.
Aku
merapihkan mantel yang ku pakai dan mulai berjalan ke papan tulis dan berusahan
mengingat-ingat lagi memori menyakitkan di masa sekolahku.
“Sulli-yah….” Teriak Minho
memanggilku.
Aku menoleh melihatnya sedang
melambaikan tangan padaku dengan senyum yang merekah seperti biasanya.
Jantungku mulai berdegub kencang tak berirama.
Aku berlari kecil menghampirinya dengan
senyum bahagia menghiasi bibirku.
“Babo Princess, kau sangat bahagia
sekali pagi ini.” Katanya sambil mengacak pelan poni di dahiku.
Aku tak keberatan, malahan aku
bahagia.
“Oh ya, aku ingin mengenalkanmu
pada seseorang.” Kata Minho kemudian, aku mendongakkan kepalaku melihat siapa
yang berdiri di belakang Minho.
“Krystal Jung…” Panggil Minho dan
gadis itu keluar dari persembunyiannya (?)
Aku mengulurkan tanganku pada
gadis di depanku ini, dia manis dan (mungkin) lebih cantik dari pada aku, meski
dia lebih pendek beberapa senti dari padaku, “Choi Sulli.” Kataku
memperkenalkan diri padanya.
“Jung Krystal.” Balas gadis itu
dengan suara lembutnya.
“Kle, dia teman baikku, My Babo
Princess.” Kata Minho mengenalkan aku pada Krystal.
Teman baikku, lagi-lagi kata-kata
itu menyakiti hatiku. Minho menganggapku sebatas itu, sedang aku menginginkan
lebih.
“Dan Babo Princess, dia adalah
teman kecilku yang baru kembali dari Amerika.” Gantian kini Minho mengenalkan
Krystal padaku.
You cried so much on the day before graduation
You held it in firmly since you’re a guy
Just like that hot summer when we couldn’t say what we wanted, goodbye
You held it in firmly since you’re a guy
Just like that hot summer when we couldn’t say what we wanted, goodbye
Minho mengulurkan tangannya padaku
yang sedang terisak sendiri dipojokan kelas.
Kali ini aku hanya memandangnya
nanar, dan mencoba mencari-cari sosok Krystal yang sejak kedatangannya selalu
bersama dengan Minho. Krystal tak ada….Aku meraih tangan Minho dan berdiri
bersamanya.
“Babo, berhentilah menangis.”
Ucapnya lembut sambil mengusap air mataku dengan ujung jarinya.
Perasaanku berkecamuk, entah apa
yang ingin aku lakukan, aku ingin berkata jujur padanya tentang perasaanku
namun aku tak mampu.
Tiba-tiba Minho merengkuhku,
memelukku hangat. Diusapnya rambut panjangku yang kali ini ku biarkan terurai.
“Jangan menangis Princess.”
Katanya masih dengan lembut.
“Minho-yah, apakah aku harus
merasa bahagia? Besok hari perpisahan sekolah.” Kataku ditengah isakanku dalam
pelukan Minho.
“Tentu saja kau harus merasa
bahagia, kau lulusan terbaik Sulli-yah, kau menerima beasiswa kuliah di
Amerika. Tentu saja kau harus merasa bahagia.” Katanya lemah, aku tak mengerti
apa yang sedang ia rasakan apakah sama denganku, namun aku merasa dia berbeda.
“Tapi…setelah itu aku tak akan
bersamamu lagi.” Ucapku lirih masih sambil terisak.
Minho tak menjawab apapun, ia
semakin mengeratkan pelukannya.
Aku
hanya mampu memejamkan mata mengingat memori masa lalu itu, mungkin
menyakitkan, namun aku tetap ingin mengingatnya. Mengingat Minho dan
menghidupkannya dalam memoriku.
The friend label is a label that I got to hate
The feelings I’ve hidden still remain as a painful secret memory
The photos that can’t define our relationship is a heartbreaking story
I’m sorry, summer, now goodbye, yeah
The feelings I’ve hidden still remain as a painful secret memory
The photos that can’t define our relationship is a heartbreaking story
I’m sorry, summer, now goodbye, yeah
Dengan langkah riang aku
berjalan menuju lapangan basket, tempat di mana biasanya Minho menghabiskan
waktu istirahatnya selain denganku.ditanganku aku membawa selembar foto dimana
aku dan Minho sedang berpose gila dengan senyum bahagia.
Aku melambaikan tanganku
pada Minho yang sedang mencoba memasukkan bola ke ring.
“Babo…” Teriakku
membuyarkan konsentrasinya sehingga bola yang ia pegang ia lempar entah kemana
arahnya.
Minho mengalihkan
pandangannya padaku, kesal.
“Ya! Choi Sulli kau
merusak konsentrasiku !” Teriaknya sambil berlari ke arahku.
Aku berlari mencoba
menghindari Minho, dan terjadilah kejar-kejaran diantara kami, seperti Tom dan
Jerry.
“Ya Ya! Choi Sulli sejak
kapan kau bisa berlari secepat itu.” Teriak Minho, ia berhenti berlari dan kini
kedua tangannya memegang lututnya, ngos-ngosan.
Aku menghentikan lariku
dan menghampiri Minho.
“Tadaaaa……Lihat ini.”
Ucapku sambil menunjukkan foto yang ku bawa tadi pada Minho.
Minho memandang sejenak
padaku kemudian merebut foto itu dari tanganku.
Ia tersenyum sejenak memandang
foto tadi, kemudian diraihnya kedua sisi pipiku dan memandangku entah aku pun
tak tahu artinya.
Aku merasa jantungku berhenti
berdetak,tatapan itu membuat hatiku meleleh. Pipiku rasanya memerah.
“Yaaa….ekspresi apa ini.”
Teriak Minho, tawanya pecah.
Aku merasa…merasa sangat
malu…apa yang barusan terjadi, ekspresi apa yang kuperlihatkan…aaaa baboya
Sulli.
“Kau manis sekali…” Kata
Minho sambil mencubit gemas kedua pipiku.
Aku mencoba tersenyum
menghilangkan rasa Maluku.
“Oppa…apa yang kalian
lakukan di sini, kenap tak mengajakku?” Teriak Krystal yang baru datang sambil
merengkuh bahuku dan bahu Minho, merangkulnya.
Minho dengan tergesa-gesa
melepaskan tangannya dari pipiku. Dan lagi-lagi sikapnya itu menyakitiku.
Dia….apakah dia menyukai Krystal?
Hatiku berdesir, aku
merasa sakit.
Aku beranjak menuju keluar kelas. Menapaki tangga dan berjalan
menuju lantai paling atas. Ya…di sana aku dan Minho sering menghabiskan waktu
bersama. Aku ingat dia sering sekali meringkuk di sana sambil memandangi
pemandangan kota ketika ia sedang dirundung masalah. Dan aku, tentu saja aku
yang setia menemaninya dan memandanginya dengan tatapan kagum yang ku
sembunyikan.
Aku memegang knop pintu ketika aku meraih anak tangga terakhir,
tanpa ragu aku membuka pintu itu dan melangkahkan kakiku keluar.
Angin musim panas menerpa wajah putihku dengan angkuhnya. Aku
berjalan semakin keluar, mataku mengamati, dan sama sekali tak ada yang
berubah. Ini tempat favoritku dan Minho sama seperti tujuh tahun yang lalu.
What do I say, we didn’t have to play no games
I should’ve took that chance, I should’ve asked for you to stay
And it gets me down the unsaid words that still remain
The story ended without even starting
I should’ve took that chance, I should’ve asked for you to stay
And it gets me down the unsaid words that still remain
The story ended without even starting
Aku menghentikan langkahku, mengintip pada cela pintu lantai atas yang terbuka sedikit. Aku mendengar sayup-sayup suara yang terdengar. Ya suara itu tak asing lagi, itu Suara Minho.
“Babo-ya, kenapa berbicara
sendiri seperti itu.” Gumamku sambil tersenyum simpul, aku hendak mendorong
pintu itu namun aku berhenti ketika mendengar suara isakan seorang gadis.
Tiba-tiba aku merasa
hatiku terasa berat dan sesak. Minho membagi tempat favorit kami pada orang
lain. Bukankah dia pernah berjanji padaku tak akan membawa siapapun ke tempat
ini kecuali aku. Aku merasa sangat tersinggung, Minho…Minho mengingkari
janjinya, dia membagi ruang yang seharusnya hanya menjadi milik kami berdua
dengan orang lain.
Tanganku bergetar, dan
mataku muali berkaca-kaca.
Aku memberanikan diri
membuka pintu itu lebih lebar sedikit, dan mendapati Krystal sedang berdiri
beberapa langkah dari Minho dengan mata yang penuh dengan air mata.
Aku tak tahu apa yang
sedang terjadi dan tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, yang aku tahu
sedetik kemudian Minho memeluk Krystal, dan gadis itu menyandarkan kepalanya
pada bahu Minho.
Sungguh aku tak tahan lagi
melihat pemandangan di depan mataku ini. Tanpa bersuara aku meninggalkan mereka
dengan air mata yang terus dan terus menetes.
Aku membuka kedua tanganku lebar-lebar, bagai burung yang bersiap untuk
terbang. Aku membiarkan angin musim panas menerpa wajahku. Berharap dengan itu,
rasa sakit hati yang aku rasakan ikut terbang bersama angin
Pikiranku tiba-tiba terbang ke masa saat hari kelulusan. Aku
berdiri dengan cantik mengenakan gaun berwarna merah muda, melihat Minho sedang
bernyanyi di atas panggung untuk pesta perpisahan sekolah. Aku, gadis lugu yang
hanya mampu memandang kagum padanya dari bawah poanggung.
Your song on the last day of the school
festival, the flickering summer sea
Our feelings that were precious because we were together
Like the deepening night sky, goodbye
Our feelings that were precious because we were together
Like the deepening night sky, goodbye
“Sulli-yah…congratulation.” Bisik Minho padaku yang baru saja turun dari atas panggung menerima penghargaan.
Aku menoleh padanya dengan
senyum termanis yang aku punya.
Minho, kali ini dia
terlihat sangat tampan menggunakan tuksedo hitam itu. Dia memang tampan. Untuk
beberapa saat aku dibuatnya terpana.
“Babo Princess, kenapa kau
melamun?” Tanya Minho dengan mata membukat tepat di depan mataku.
Aku tersenyum canggung,
“Ani..” Jawabku menggeleng-gelengkan kepala.
Minho tak dapat berkata
apa-apa, ia hanya memandangku dan ikut tersenyum bersamaku.
“Kita panggilkan Choi
Minho….” AKu tak tahu pasti apa yang sedang terjadi karena saat ini perhatianku
dicuri oleh Minho, MC memanggil nama Minho. Minho sempat mengedipkan sebelah
matanya padaku sebelum ia beranjak dan berjalan menuju atas panggung.
Aku hanya mampu memandangi
Minho dengan tatapan terpana. Laki-laki itu memang tak pernah gagal untuk
mengalihkan duniaku.
“The
friend label is a label that I got to hate
The feelings I’ve hidden still remain as a painful secret memory
The photos that can’t define our relationship is a heartbreaking story
I’m sorry, summer, now goodbye, yeah
What do I say, we didn’t have to play no games
I should’ve took that chance, I should’ve asked for you to stay
And it gets me down the unsaid words that still remain
The story ended without even starting”
The feelings I’ve hidden still remain as a painful secret memory
The photos that can’t define our relationship is a heartbreaking story
I’m sorry, summer, now goodbye, yeah
What do I say, we didn’t have to play no games
I should’ve took that chance, I should’ve asked for you to stay
And it gets me down the unsaid words that still remain
The story ended without even starting”
Suara
Minho mengalun indah membawakan sebuah lagu yang mungkin dapat menggambarkan
diriku selama ini, Goodbye Summer.
Minho mengakhiri lagunya dengan sangat apik, sorak sorai penonton terdengar riuh meriah menyorakinya. Aku hanya mampu memandangnya dengan bangga dan perasaan yang campur aduk, aku mencintai laki-laki itu.
Minho memandangku dan
melambaikan tangan padaku dari atas panggung, akan tetapi belum sempat aku
membalas lambaian tangannya, tiba-tiba Krystal menaiki panggung dan mengecup
kilat pipi Minho.Minho hanya terpaku, merasa kaget dan tak percaya dengan apa
yang baru saja Krystal lakukan.
Dzzzz. Suasana seperti
membeku. Aku menatap kosong pada sekelilingku. Riuh orang-orang tak terdengar
di telingaku.
Aku merasa sangat pusing.
Apa-apaan ini.
“Aku kira dia berpacaran
dengan Choi Sulli.” Hanya kalimat acak itu satu-satunya yang mampu aku dengar
kali ini. Ya, aku juga menginginkan seperti itu, tapi kenyataannya tak begitu.
Krystal, gadis itu mungkin yang menjadi kekasih Minho.
Aku berlarisekuat tenagaku
menghindari kerumunan itu, lagi-lagi mataku sudah penuh dengan air mata.
“Babo..Sulli Babo.” Aku
menghardik pada diriku sendiri.
Aku terus berlari sambil
terisak-isak, sama sekali aku tak berminat memperhatikan orang-orang yang
memperhatikan aku dengan aneh.
Aku gadis yang sedang
patah hati.
Aku membuka mataku dan menarik napas kuat-kuat. Aku menyentuh dada
kiriku, sesak, aku bahkan masih merasakan sesak tiap kali mengingat memori itu.
Ya, tujuh tahun sudah berlalu, tapi perasaanku padanya tak dapat berlalu begitu
saja.
Mataku tertarik pada sebuah loker yang masih berada di sana. Itu
adalah loker kami, tempat kami menyimpan seluruh barang kesayangan kami. Aku
baru ingat sebelum aku pergi ke Amerika aku lupa memungutnya dari loker itu.
Aku berjalan pelan menuju loker itu, dan menyentuh loker itu,
terasa dingin. Aku mencoba memutar kunci kode yang dulu. 29393.
*KLEK* Loker terbuka. Aku heran, kenapa selama ini namun kodenya
masih sama. Apa dia tak menggantinya. Atau dia tak pernah datang untuk
melihatnya lagi setelah hari kelulusan itu?
Aku mencoba membuka loker itu perlahan, tapi aku tak menemukan
barang-barangku yang dulu.
Namun, ada selembar amplop berwarna merah muda di sana. Aku
meraihnya dan mendapati namaku tertera di sana.
Dengan jantung yang tiba-tiba
berdegub tak berirama, aku mengeluarkan kertas dari dalam amplop itu. Membaca
dengan seksama tulisan tangan yang sudah taka sing lagi bagiku dengan mata
sedikit berkaca-kaca.
Dear: My (Babo) Princess
Sulli Choi
June, 2006
Saat angin musim panas
berhembus menerpa wajahku, sehari setelah hari kelulusan aku menuliskan surat
ini.
Sulli-yah, maafkan atas
semua hal bodoh yang selalu ku lakukan padamu. Aku hanya….tak mampu
mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya padamu.
Sejak hari itu, ketika kau
bernyanyi di depan kelas, sejak kau mengerjapkan matamu padaku, sejak itu sebenarnyaaku
mulai menyukaimu.
Aku tak tahu bagaimana
cara bersikap padamu, aku takut perasaan ini hanya perasaan sepihak, oleh
karena itu aku memintamu menjadi teman baikku. Aku hanya tak ingin
kehilanganmu, aku hanya tak ingin kau berpaling dariku.
Aku melihatmu berlari
sambil menangis saat di lantai paling atas sekolah, aku tahu kau melihatku
bersama Krystal. Tapi aku tak dapat melakukan apapun. Maafkan aku.
Aku juga melihatmu
meninggalkan pesta perpisahan sambil menangis, dan aku tetap tak bisa berbuat
apa-apa. Maafkan aku.
Dia, Krystal, menyukaiku
sejak kami kecil. Aku sempat menyukainya tapi itu dulu, sebelum aku bertemu
denganmu. Setelah aku menemukanmu, kau berhasil mencuri segala perasaanku.
Sulli-yah, aku tak tahu
apa tang kau rasakan padaku, tapi kau harus tahu jantungku terus berdetak
kencang ketika kau di dekatku. Aku mencintaimu Choi Sulli, maafkan aku jika ini
terlalu terlambat karena mungkin sekarang hari ini kau telah berada dalam
pesawat menuju Amerika. Maafkan aku, tapi aku…aku sangat menncintaimu.
Aku tak tahu kapan surat
ini akan kau baca, tapi dalam hati kecilku aku yakin kau akan membacanya suatu
saat, meski kita sudah beranjak menjadi seorang dewasa.
Sekali lagi aku ingin
ucapkan, Saranghae, jongmal.
Choi
Minho
Aku memejamkan mataku, tak percaya dengan semua yang sebenarnya
terjadi. Minho, dia juga merasakan hal yang sama denganku. Perasaanku berbalas.
Tapi…tapi…apakah ini sudah terlambat…apakah dia masih menyimpan perasaan itu
padaku.
“Aku tak pernah salah, aku yakin kau akan ke sini suatu saat, dan
sekarang kau di sini.” Aku mendengar suara berat dari belakangku. Suara
itu…suara itu… tak asing lagi. Apa ini hanya ilusiku?
Perlahan aku membalik badanku, dengan enggan aku menatap laki-laki
yang berdiri di depanku, dia…Minho.
Minho kini telah dewasa, badannya lebih berotot dan lebih
berwibawa. Dia telah berubah. Namun ada satu yang sama sekali tak berubah, dia
selalu mampu mengalihkan duniaku.
“Babo!” Teriaknya, senyum menawan itu kini tersungging di
bibirnya.
Aku tak dapat berkata apa-apa, aku terpana melihat cinta
pertamakukini berdiri tepat di depanku.
“Kanapa kau melamun? Apa kau tak merindukanku Princess?” Goda
Minho padaku.
“Babo!” Tetiakku akhirnya.
Minho tersenyum memandangku yang hanya berada beberapa langkah di
depannya.
“Berhenti menangis, maafkan aku.” Katanya mulai melembut. Aku tak
mampu menjawab, hanya mengangguk pelan.
“SULLI SARANGHAE….” Teriaknya keras-keras.
Aku merasa pipiku memerah seperti kepiting rebus. Laki-laki ini
sungguh mampu membuatku tak mampu berkata apa-apa.
Minho berjalan mendekat padaku. Dan tepat selangkah di depanku ia
berhenti.
“Sudah lama aku ingin mengatakan itu padamu.” Katanya, “Saranghae
Sulli.” Lanjutnya lagi.
Aku memandang laki-laki kekar di depanku, air mataku terus saja
jatuh. Aku merasa senang kali ini.
“Saranghae Sulli..” Ucapnya lagi mengetahui aku tak meresponnya.
“Nado Choi Minho.” Balasku malu-malu.
Minho meraih tubuhku dan menenggelamkannya dalam pelukan
hangatnya.
Cinta pertamaku, tak berakhir menyedihkan. Cinta pertamaku
berbalas. Laki-laki ini, Choi Minho, dia milikku. ^^




0 komentar:
Posting Komentar