Tittle: Painful Love
Cast: Just Sulli and
Minho
Genre: Sad
Author: MinLi MinRi
NB: Yang ditulis miring adalah sebuah flashback. Mianhe jika gaje.
Jika aku mampu
mengendalikan perasaanku, mungkin aku tak akan berakhir seperti ini.
Seharusnya, dari awal aku tak pernah menyambut uluran tanganmu dan seharusnya
aku mengabaikan senyum menawan yang kau lemparkan hari itu.
“ Sulli-ya….” Teriak seorang laki – laki, ia
berlari ke arah seorang gadis yang terduduk lesu di bawah guyuran hujan. Ia
menerjang derasnya hujan yang turun kala itu, ia tak peduli meskipun tubuhnya
harus basah kuyub, yang terpenting baginya saat ini adalah menyelamatkan teman
perempuan yang ( diam – diam ) ia cintai.
Ia meraih kedua sisi pundak gadis itu.
Tangannya sedikit bergetar, rasanya ingin sekali ia memeluk gadis pujaannya.
Tapi, ia tak bisa melakukan itu karena dia bukan siapa – siapa.
“Sulli-ya…” Ucap laki – laki tadi, kali ini
ia mencoba untuk memegang kedua pipi gadis dihadapannya meski dengan tangan
yang bergetar.
Gadis itu mengangkat wajahnya, dan
memberanikan diri memandang bola mata bening di hadapannya.
“Minho-ya” Lirih gadis itu, suaranya hampir
tak terdengar karena kerasnya suara hujan yang turun.
Belum sempat berkata apa-apa, gadis itu
sudah menghambur dalam pelukan Minho. Jantung Minho seperti ingin berhenti
seketika itu. Tangannya menggantung antara enggan membalas pelukan gadis itu
dan ingin memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi.
“ Semua akan baik-baik saja Sulli-ya.” Kata
Minho akhirnya membalas pelukan Sulli.
Sulli terisak dalam pelukan Minho tanpa
suara, namun tangisnya semakin menjadi saat Minho mengusap punggungnya bagai
seorang ayah yang sedang mendiamkan putrinya yang sedang menangis.
Kau mengangkatku
dari rasa sakit yang ku rasakan sebelumnya, tapi tiba – tiba kau
menghempaskanku, kau membuat aku terjatuh sangat dalam. Dan kau tak pernah tau,
aku terluka lebih parah kali ini.
Awalnya
aku menganggap kau adalah malaikatku, orang yang telah meghadirkan tawa dan
canda di hari-hari kelabuku, ternyata aku salah, kau sama, kau sama seperti
laki-laki lain. Kau meninggalkanku, kau meninggalkanku saat aku ingin bangkit
dari keterpurukan.
Minho berjalan menghampiri Sulli yang sedang
duduk melamun di bangku taman. Mata gadis itu terlihat hampa, tanpa semangat.
Minho semakin mendekat, ia mencoba
mengabaikan jantungnya yang terus menerus berdetak seperti genderang perang
yang ditabuh tak beraturan.
“Sulli-ya…”Sapa Minho ceria, mencoba
menyembunyikan guratan rasa gugup yang ia rasakan dalam hatinya.
Sulli menoleh pada Minho yang kini telah
duduk di sampingnya, tatapannya datar, tanpa semangat.
Minho merasa dadanya sangat sesak melihat
gadis pujaannya seperti mayat hidup, tanpa semangat, tanpa senyum ceria yang
biasa ia pamerkan.
“Sulli-ya, aku membawakan lili putih
kesukaanmu.” Ucap Minho dengan (mencoba) santai sambil menyerahkan seikat bunga
lili putih pada Sulli.
Mata Sulli berkaca – kaca, semua kenangan
(yang dulunya) indah tentang lili putih itu silih berganti menyergap
pikirannya. Ia tak dapat lagi menahan air mata, butiran-butiran bening itu
akhirnya turun dengan bebas melewati pipi putihnya.
“Sulli….” Ucap Minho lirih, ia tau ia salah
telah mengingatkan Sulli pada kenangan buruk tentang lili putih.
Sulli mengabaikan Minho yang mulai hawatir.
Ia segera meraih seikat lili putih di tangan Minho. Mencium aromanya sejenak,
kemudian mulai memandang langit lagi.
Minho memandang Sulli dengan tatapan nanar.
Hatinya benar-benar tersiksa melihat gadis pujaannya berubah menjadi gadis
tanpa semangat karena laki-laki lain.
“Sulli-ya…Aku akan selalu menjagamu…aku
berjanji padamu…aku akan menghadirkan senyuman ceriamu seperti semula. Aku
berjanji.” Kata Minho pada Sulli. Entah bisikan malaikat mana yang membuat
Minho berani berkata seperti itu. Bukankah selama ini ia seorang pengecut yang hanya bisa mengagumi
Sulli diam-diam, hanya bisa menyelipkan surat tanpa nama di loker Sulli.
Aku
mencintaimu. Sungguh. Aku yakin kau tahu itu. Namun kenapa semua harus berakhir
sesakit ini? Aku tak mengerti kenapa Nasib mempermainkanku seperti ini. Kenapa
aku (lagi-lagi) harus kehilangan?
“Kau tahu Minho-ya, terkadang kita tidak
boleh menyerahkan seluruh hati kita pada seseorang. Karena pada saat ia pergi
dan mengabaikanmu, kau akan mati, tanpa hati, tanpa rasa.” Kata Sulli tanpa
memandang Minho yang masih setia duduk di sampingnya.
Minho hanya memandang Sulli tanpa kata.
Memandang Sulli yang ia cintai (diam-diam). Memandang Sulli yang menawan ketika
angin musim semi menyibak rambut lurusnya.
“Kau begitu cantik, bahkan ketika kau tak
tersenyum kau masih terlihat cantik. Walaupun begitu, akutetap merindukan
senyummu.” Kata Minho lirih tapi Sulli masih mampu menangkap suara Minho itu.
Sulli menoleh sebentar, ia merasa tak
percaya dengan apa yang ia dengar. Tak ingin berkomentar apapun, tapi percaya
atau tidak kata-kata Minho tadi mampu membuat Sulli mengulum senyum meski
sangat tipis, seperti mantra.
Seharusnya aku
tak mengulang kebodohan yang sama. Terlalu percaya pada cinta dan membiarkanmu
masuk menerobos hatiku begitu saja.
Sulli melambaikan tangan pada Minho yang
telah menunggunya di bangku taman favorit mereka. Bangku taman yang menjadi
saksi bisu setianya Minho yang selalu menunggu Sulli yang sering duduk di
bangku itu lima bulan terakhir, untuk mengikis rasa sakit hati yang ia dapat
dari seorang laki-laki brengsek yang telah meninggalkannya untuk bersama gadis
lain.
Minho lega melihat Sulli berjalan mendekat
dengan wajah sumringah, dan senyum menawan. Old Sulli is back.
Ini sudah lima bulan lebih, akhirnya Minho
dapat melihat wajah sempurna pujaannya itu tersenyum. Hatinya merasa hangat.
“Bunga lili putih kesukaanmu.” Kata Minho
sambil menyerahkan seikat lili putih pada Sulli.
Tak seperti sebelumnya, kali ini Sulli
menerima bunga itu dengan senyum yang mengembang lebar di bibirnya. “Gomawo.”
Katanya
Hati Minho meleleh,
melihat mata gadis pujaannya telah bersinar seperti sebelumnya.
Perlahan minho
memegang tangan Sulli. Meski sedikit terperanjat, tapi Sulli mencoba tetap
biasa.
“Saranghe…” Kata
Minho dengan tatapan yang sangat dalam langsung ke mata Sulli.
Sulli merasa ada yang berdesir dalam
hatinya. Jantungnya berdetak kencang. Sudah lama ia tak merasa seperti ini.
Lidah Sulli kelu, ia tak mampu mengucap apapun.
“Sejujurnya, aku mencintaimu sejak lama.
Hanya saja aku telalu pengecut untuk mengungkapkannya padamu.” Kata Minho
mencoba menceritakan hatinya.
Sulli masih terus terdiam, tatapan mata yang
tadinya hangat berubah menjadi tatapan dingin.
“Aku tak memaksamu untuk menjawabku. Jika
kau ingin belajar agar terbiasa merasakan cintaku, aku tak akan keberatan.” Ucap Minho sekali lagi sambil mempererat
pegangan tangannya pada tangan Sulli.
Sulli tak berkomentar. Ia hanya mengangguk
perlahan. Dan itu sudah mampu untuk membuat Minho mengulum senyum kelegaan.
Cintanya terbalas, meski belum sepenuhnya.
Sejak dulu,
seharusnya aku tak melunakkan hatiku. Tak perlu mencoba mengertimu. Tak perlu
memerhatikanmu sedetail itu.
Semua cerita
manis yang kau tuliskan dilembaran hari baruku perlahan memudar. Semuanya
berlalu. Semuanya berakhir. Ini bukanlah akhir yang ku inginkan. Tapi sungguh,
ini tak dapat terelakkan.
Mataku hanya bisa
memandang nanar pada gaun pengantin yang telah kau pesankan untukku. Seharusnya,
hari ini kau sedang bersamaku. Berdiri di atas altar, mengikrarkan janji suci
sehidup semati. Tapi, kau malah pergi. Pergi meninggalkanku sendiri penuh luka yang
menganga.
Tujuh hari lagi.
Sulli tersenyum memandang kalender yang
berdiri di meja riasnya. Senyum mengembang bagai bunga di musim semi. Tujuh
hari lagi, gadis yang dulu hampir kehilangan kebahagiaan akan mengikrarkan
janji setia sehidup semati dengan pangeran penyelamat jiwanya, Minho.
“Yeoboseo Oppa” Suara renyah gadis itu
mengisi ruang kamar sempit miliknya ketika mendapati ponselnya berbunyi.
Matanya semakin bersinar ketika mendengar
suara lembut laki-laki di seberang sana yang menyapanya penuh kasih.
Minho, bagai anugerah bagai Sulli. Minho
mampu mengangkat Sulli dari masa-masa kelamnya. Minho mampu menghadirkan
pelangi keceriaan di hari-hari Sulli.
“Oppa akan menjemputmu chagi-ya.” Ucap Minho
di seberang teleponnya.
“Kemanakah Oppa?” mata Sulli membulat
bertanya-tanya.
Terdengar samar suara Minho terkekeh
membayangkan ekspresi penasaran kekasihnya.
“Oppa, kenapa malah tertawa?kita mau
kemana?” rengek Sulli manja.
“Bersiaplah chagi, Oppa akan segera
menjemputmu. Dandanlah secantik mungkin karena Oppa merindukanmu.” Kata Minho
kemudian memutuskan sambungan ponselnya.
Sulli hanya mampu tersenyum bahagia pada
dirinya sendiri. Tujuh hari lagi, ia akan menjadi pengantin. Tujuh hari lagi ia
akan menjadi seorang istri. Tujuh hari lagi ia akan menjadi wanita paling
bahagia.
Kau pernah
menjadi anugerah. Kau pernah menjadi malaikat penyelamat bagiku. Tapi semua
hanya semu. Kebahagiaan yang kau beri padaku, tak pernah menjadi kebahagiaan
abadi seperti yang pernah kau janjikan.
Aku kecewa.
Hatiku sangat hancur. Seharusnya hari ini aku telah menjadi istrimu. Namun, kau
malah meninggalkanku. Kau tak tahu, sejak hari kau meninggalkanku tujuh hari
yang lalu, aku selalu tersungkur di sudut kamarku. Meratapi takdirku. Berharap
semua hanya mimpi, dan kau masih berada di sampingku.
“Sulli-ya…kau sudah bangun?” Tanya ibu Sulli
panic ketika melihat Sulli mulai membuka matanya.
Ibu Sulli tak mampu menahan emosinya,
tangisnya pecah. Rasa-rasanya ia tak sanggup melihat putrinya menderita sekali
lagi.
“Umma, ini di mana? Mana Minho Oppa?” Tanya
Sulli pada Ibunya seketika ia sadarkan diri dari pingsan beberapa jam.
Ibu Sulli semakin tak bisa mengendalikan air
matanya. Ia tak akan mampu memberitahukan pada putri cantiknya tentang keadaan
calon suaminya.
Sulli semakin histeris saat Ibunya tak
memberikan jawaban. Ia mengingat semuanya, mengingat kejadian beberapa jam yang
lalu saat ia dan Minho menaiki mobil dalam perjalanan mengambil gaun pengantin
yang seharusnya ia gunakan pada pesta pernikahannya….. tujuh hari lagi.
Sulli mengingat saat tiba-tiba ada truk
besar yang keluar jalur. Sulli mengingat saat Minho membanting stirnya dan
mereka berteriak kencang saat mobil yang mereka kendarai menabrak pembatas
jalan kemudian terbalik. Sulli juga mengingat, sebelum ia tak sadarkan diri, ia
sempat melihat Minho diam saja, kepalanya mengeluarkan banyak sekali darah.
Sulli menggelengkan kepalanya,
“Tidak…jangan….Umma….Minho Oppa…”
“Chagi-ya, dia telah pergi. Biarkan dia,
ikhlaskanlah.” Kata Umma Sulli.
Sulli menangis sejadinya. Menyadari bahwa
calon suaminya telah tiada. Calon suami yang sangat ia cintai, yang akan
menikahinya tujuh hari lagi.
“Oppa….Minho….” Teriak Sulli mengelak dari
kenyataan yang terjadi.
Kau tak tahu. Air mataku selalu terurai tak
tertahankan semenjak kau meninggalkanku.
Suara hangatmu
selalu menyergap dalam mimpi malamku. Aku mencoba untuk menghardiknya, tapi tak
bisa, kau tetap hadir di mimpiku. Dulu, mimpi seperti itu merupakan mimpi
inidah. Namun, yang ada sekarang mimpi itu menjadi mimpi buruk. Ya mimpi buruk
karena kenyataannya aku tak akan pernah bisa melihatmu lagi. Aku tak akan
mendengar lagi suara hangatmu. Aku tak akan bisa menjadi istrimu, calon istri
yang kau tinggalkan tujuh hari yang lalu.
Bagaimana aku
bisa melupakanmu? Sedangkan kenangan kita selalu hadir bahkan ketika aku
menutup mata. Seandainya kau mengajarkanku cara untuk melupakanmu sebelum kau
pergi. Mungkin aku tak akan merasa sesakit ini. Seandainya kau mengajarkanku
cara untuk membencimu sebelum kau pergi, pasti aku tak akan terluka separah
ini. Kau terlalu sempurna di mataku, bahkan kau tak pernah memberiku celah
untuk mendapati keburukanmu. Kau terlalu indah, dan aku membenci itu sekarang.
Aku sadar aku tak
dapat berbuat apa-apa lagi karena kau sudah pergi seperti berengsek lain yang
meniggalkanku. Tapi yang perlu kau tahu, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.




sukaaaaaa thor..
BalasHapusapa lagi cast nya..
fav couple bngt.. >.<
tpi syangnya sad end ya.. :-(
iya chingu :)
Hapusmakasih uda baca di blog ya :)